KISAH
YANG SALAH
“Please, aku gak ingin
kita seperti ini Nest. Aku ingin kita sama seperti biasa, seperti dulu, gak ada
yang berubah. Baik aku maupun kamu.”
Winest hanya terdiam. Matanya
tetap memandang ke arah Jalan raya yang basah terguyur hujan malam itu.
Wajahnya mengekspresikan kekecewaan yang tak bisa terungkap. Kaku, datar dan
tak bergeming. Hanya desahan nafas naik turun yang terdengar saat itu. Kedua
tangannya masih dicengkeram oleh laki-laki di hadapannya. Persis seperti
seorang anak yang telah melakukan kesalahan besar kepada Ibunya dan merengek
minta dimaafkan. Genggaman laki-laki itu semakin kuat. Winest tetap memalingkan
wajahnya.
“Nest please. Kita sama-sama
dewasa. Kamu seharusnya mengerti. Aku butuh kamu. Aku nyaman banget saat sama
kamu. Aku gak ingin kita jaga jarak seperti yang kamu mau.”
Winest menarik nafas
dalam-dalam. Kini matanya mulai memandang laki-laki yang sudah setengah memohon
di hadapannya. “Go, kita tau, sangat tau, aku masih sama Osten, dan kamu juga
ada Karka. Kita gak mungkin meneruskan hubungan ini. Aku kurang mengerti di bagian
yang mana? Okei kamu beralibi hubungan kita sebatas sahabat. Iya kan? Selalu itu
yang kamu tegasin ke aku, tapi mau sampai kapan? Kita punya hati yang harus
dijaga Go. Kita gak bisa egois. Apa kamu bisa menjamin, diantara kita gak ada
yang saling jatuh cinta? Jika hubungan ini terus berlanjut? Kamu bisa menjamin
itu? Enggak kan?” Nada Winest mulai meninggi.
“Tapi Karka tau aku
deket sama kamu, kalian juga berteman kan? Karka gak pernah tanya macam-macam
kan? Gak pernah bbm kamu kan Nest. Karka bisa menerima hubungan kita ini. Aku
juga membebaskan Karka untuk melakukan apapun yang dia mau.”
“Iya sebagai sahabat. Entah
wajar atau enggak persahabatan kita ini ya Go. Apa yang Karka pikirin ke kita
kalu dia tau yang sebenernya? Apakah seorang sahabat itu wajar pergi bareng
terus berdua? Tidur bareng. Hampir setiap waktu aku habisin sama kamu. Apa yang
seperti itu wajar menurut kamu? Ini yang kamu maksud dengan sahabat? Sayang sebagai
sahabat yang seperti ini? Iya Go? Apa kamu gak pernah terbesit sedikit aja, mikirin
bagaimana perasaan aku? Yang selalu cemburu liat kamu sama Karka? Di bagian
mana aku tidak mengerti kamu? Kamu juga harus pikirin itu, pikirin hati aku,
dan mereka! Kasihan Osten dan Karka Go! Jangan paksa mereka untuk ikut
keegoisan kamu! Fine Karka dan aku saling kenal, Karka tau tentang kita, tapi
Osten? Osten gak tau apa-apa Go! Please, jangan karena perbuatan dan kesalahan
kita, menghancurkan hati yang seharusnya tidak pantas untuk disakiti!”.
Hargo mulai
mengendurkan genggamannya di tangan Winest. Menunduk, tak tahu harus berkata
apa.
“Mumpung ini belum
terlalu jauh, kita harus segera mengakhiri semua ini. Kamu balik ke kehidupan
kamu sama Karka jauh sebelum ketemu aku, dan begitupula aku dengan Osten. Aku ingin
memperbaiki hubungan aku dan Osten yang sudah nyaris enam bulan menggantung. Aku
gak ingin berantakan keduanya. Bagaimanapun, aku dan Osten lebih dulu menjalin
cerita. Kamu pun seperti itu. Aku harap kamu mengerti. Aku pamit Go.”
Sekuat mungkin Winest
mengatakan kalimat perpisahan yang sebenarnya ia sendiri pun tak mau
melakukannya. Akan tetapi keadaan tidak mungkin menunggunya lagi. Mau tidak mau
dia harus ambil keputusan jika Hargo tetap tidak bisa memutuskan hubungan
diantara mereka. Winest membalikkan
badannya. Membelakangi Hargo yang masih tertunduk. Perlahan kaki Winest mulai
melangkah pelan.
Bruk. Hargo menarik
lengan Winest dan memeluknya dari belakang. Tanpa terasa butir-butiran air mata
Winest menetes membasahi pipinya. Ia mulai terisak dalam diam dan dalam pelukan
Hargo. Begitu kuat Hargo memeluknya, sehingga ia pun tak berdaya untuk terus
melangkah. Winest menikmati wangi aroma tubuh Hargo yang khas. Membuatnya ikut
menikmati pelukan yang mungkin untuk terakhir kali nya. Lama mereka berpelukan
dalam diam di tengah dinginnya malam itu. Perlahan, Winest melepaskan
pergelangan tangan Hargo yang memeluknya. Kemudian membalikkan tubuh. Sekuat hati
ia harus menatap kembali wajah laki-laki yang mengisi hari-harinya selama
beberapa bulan ini. Tak hanya hari, tetapi relung hati Winest merasa tercuri
olehnya.
Winest menatap
dalam-dalam wajah tirus Hargo. Rahangnya yang runcing, matanya yang sayu, dan
wajahnya yang manis dalam kebekuan. Winest membenarkan rambut Hargo yang selalu
nampak awut-awutan. Rambut yang selalu menjadi bahan celaan Winest ketika
mereka bertemu.
“Kamu harus sering
keramas, supaya rambut acak-acakan kamu itu tetep wangi. Jangan lupa minum
susu, supaya gemuk. Jangan kebanyakan makan mie juga, kasian usus kamu itu. Jika
nanti Tuhan mempertemukan kita lagi, kamu sudah menjadi Hargo yang beda. Yang lebih
baik lagi dari hari ini. Menjadi Hargo yang rambutnya rapih dan gemukan.”
Hargo tersenyum
mendengar perkataan Winest. Kata-kata inilah yang sangat ia rindukan dari sosok
gadis kecil yang berdiri di hadapannya saat ini. Dengan balutan dress coklat
dan jeans hitam, serta syal warna salem yang melingkar di lehernya, membuat
gadis itu sangat manis. Ia pasti akan merindukan keceriaan saat bersama dengan
gadis kecilnya ini. Kemudian ia membelai rambut hitam pekat Winest. Menariknya agar
lebih dekat. Hargo pun mendaratkan kecupan di kening Winest. Sebelum keduanya
memutuskan untuk pergi dengan jalan yang telah digariskan Tuhan.
“Inget semua pesen aku
ya. Percaya, Tuhan gak akan pernah membiarkan makhluknya disengsarakan oelh
yang namanya Cinta. Aku pergi, kamu jaga diri baik-baik Go.”
“Kamu juga Nest. Aku
selalu berharap, Tuhan akan memberikan kesempatan kepada kita di kehidupan
nanti. Dan aku percaya, kalau kita gak bisa bersama di saat ini, di kehidupan
nanti pasti bisa. Aku tetep tunggu kamu Nest.”
Winest tersenyum. Kemudian
melangkah mundur. Bergerak menjauh dari Hargo yang masih berdiri di tempatnya. Winest
membalikkan tubuhnya. Berjalan maju menyusuri dingin dan gelapnya ibukota malam
itu. Begitupun Hargo. Membalikkan tubuhnya dan perlahan menjauh.