CLICK HERE FOR FREE BLOG LAYOUTS, LINK BUTTONS AND MORE! »
Kalau kau tanya apa itu cinta,, lihatlah dimataku..

Karena ia telah meninggalkan jejak cahaya disana..

Kalau kau tanya kenapa bisa begitu,, jawabnya adalah kamu..

Dan kalau masih ada tanya kenapa harus kamu,, terus terang,, aku tak tahu..

Karena kata-kata tak sanggup lagi menyampaikan isyarat hatiku..

Pages

Rabu, 02 Maret 2011

Tuhan Menegur Saya

Selasa, 01 MARET 2011
Disini, saya akan menceritakan kejadian yang kemarin saya alami sepulang dari SCTV Tower, Senayan Jakarta. Awalnya tidak ada yang menarik untuk diceritakan. Nothing special yang saya alami selama perjalanan menuju ke SCTV Tower.


Saya ke SCTV Tower ingin memenuhi panggilan wawancara dari sebuah stasiun televisi swasta yang satu kantor dengan SCTV. Selesai wawancara, saya kembali menggunakan jasa Bus Trans Jakarta untuk kembali ke kantor saya yang berlokasi di Mangga Besar. Sesampainya di shelter bundaran senayan, saya perhatikan, agak sepii. Saya melihat ke arah sudut sebelah kanan, tampak gerombolan wanita berjilbab sedang duduk-duduk.


Kemudian melihat ke arah tengah, terdapat seorang Bapak setengah baya, kalau diperkirakan mungkin usianya sekitar 30 tahunan. Di sebelahnya masih terdapat bangku kosong. Saya putuskan untuk duduk disana.
Sengaja saya duduk agak berjauhan dari si Bapak ini. Saya tidak biasa berdekatan dengan orang asing. Bukan bermaksud suudzon, tetapi karena pengalaman pernah kehilangan henpon dua kali membuat saya terlalu parno dengan orang asing. Terutama Bapak-bapak lusuh. Maaf ya! Saya hanya mencoba antisipasi saja.


Baru saja sebentar saya duduk, tiba-tiba Bapak tersebut bertanya ke arah saya. Dengan logat sunda yang kental sekali, membuat saya harus perlahan memahami setiap kata yang keluar dari mulut Bapak itu. Saya sedikit tahu arti dari bahsa sunda. Pengalaman mempunyai mantan pacar asli Pandeglang membuat saya merasa familiar sekali dengan logat Bapak ini. Ditambah lagi, saya berkuliah di Bogor, yang pastinya identik dengan sunda.
Awalnya saya tidak mengerti maksud dari bapak ini. Tetapi lama kelamaan saya perhatikan si Bapak dari atas sampai bawah, sungguh miris. Beliau hanya mengenakan kaus polo lusuh, dengan celana biru gelap yang sudah separuh warna nya memudar menjadi belang. Kemudian membawa tas gemblok sedang yang juga warnanya sudah memudar. Saya bergumam dalam hati, pastilah Bapak ini bukan warga Jakarta.


Inilah percakapan yang berhasil saya ingat-ingat kemarin:
Bapak: (Dengan bahasa sunda yang sudah saya translete) Kalo ke kalideres berapa lama neng??
Saya: (berfikir keras menghitung waktu yang dibutuhkan si Bapak untuk sampai ke shelter kalideres. Setelah cukup lama saya terdiam, dan Bapak itu juga memasang wajah penuh harap kepada saya, akhirnya saya asal menjawab) Dua jam an lah Pak. Soalnya Bus kadang lama.
Bapak: (kaget, masih dengan bahasa sunda yang sudah saya translete) Ya Allah,, lama sekali?? (memasang muka sangat menyedihkan)
Saya: (heran, kemudian mendekati Bapak tersebut) kenapa emang Pak?? Bapak ini dari mana dan mau kemana sebenernya??
Bapak: (masih dengan bahasa sunda yang sudah saya translete) dari Pondok Indah neng. Saya disuruh orang ambil bibit di rumah sakit Pondok Indah, ke lantai dasar kebagian cleaning service kalo ga salah mah, tapi saya dikasih tau kalo nenek saya di kampung meninggal. Makanya ini saya mau pulang ke kampung.
Saya: (mulai merasa prihatin) Bapak punya uang??
Bapak: (masih dengan bahasa sunda yang sudah saya translete) engga. Saya dari kampung cuma bawa uang 40 ribu, sampe sini habis. Ini aja dibayarin Ibu tadi beli tiketnya.
Saya: Astagaaaa!!! Trus Bapak dari Pondok Indah naek apa bisa sampe kesini???
Bapak: (masih dengan bahasa sunda yang sudah saya translete) jalan kaki neng. Dari jam lima subuh. Nanya nanya ke orang, kalideres di sebelah mana, kata mereka mah tinggal lurus aja, udah deket, tapi malah sampenya kesini.
Saya: (histeris) Oh Mai God!! Jalan kaki?? Bapak beneran jalan kaki sejauh itu??? (antara shock, ga percaya dan ragu)
Bapak: (masih dengan bahasa sunda yang sudah saya translete) iya ngapain saya bohong. Sekarang sudah jam berapa?? (sambil melihat chanel yang menempel di pergelangan tangan kiri saya)
Saya: (menoleh ke arah tangan kiri saya) jam setengah 12 Pak. Trus Bapak gimana pulangnya, ga punya uang gitu?? Emang kampung Bapak dimana??
Bapak: (masih dengan bahasa sunda yang sudah saya translete) Di Banten. Pandeglang neng, deket Carita.
Saya: (menutup mulut histeris setengah tidak percaya) Banten??? Pandeglang???


Tiba-tiba saya teringat Rudi. Mantan tunangan saya yang telah menikah dengan perempuan lain. Saya sangat membencinya. Membenci semua hal yang berhubungan dengan dia! Tetapi Bapak ini?? Asanya sama dengan mantan saya itu, dan kondisinya sangat menyedihkan. Hati saya sampai tergetar untuk membantunya. Saya bertanya lagi ke Bapak itu: Kira kira ongkosnya dari kalideres berapa Pak?? Naik bis apa dan kemana tujuannya??


Bapak: Ke Labuan. Naik Prima neng. Ongkosnya 19 ribu.
Saya: (mencoba mengingat-ingat, bis yang ke arah Labuan warna apa dan apa nama bisnya) Ooohh saya tau Pak, warna ijo kan bisnya. Ya ampuuunnn,, Labuan itu jauh sekali Paaaaakkkk!!! (mulai bingung dan panik sendiri)


Saya tahu sekali daerah yang bernama Labuan itu seperti apa. Dan jauhnya seperti apa. Membutuhkan perjalanan enam jam dari kali deres untuk sampai kesana. Dulu saya sering merasakan seperti ini. Deuuhh,, jadi inget-inget masa itu lagi kan???!!! hadeeeehhh. Terlintas dalam benak saya untuk membantu meringankan beban Bapak ini. Saya keluarkan dompet saya. Saya lihat, masih ada uang berjumlah 65 ribu rupiah. Satu lembar lima puluh ribu. Satu lembar sepuluh ribu, dan satu lembar lima ribuan. Saya mulai berfikir, ongkos si Bapak 19 ribu, itu baru ongkos Bis nya saja, tetapi dari Labuan, kemana lagi Bapak akan berlabuh?? Kalau saya berikan lima puluh ribunya ini, saya bimbang, karena saya sendiri sedang kesulitan uang. Maksudnya, saya sedang banyak keperluan di bulan ini. Dan kontrak kerja saya hanya tinggal satu bulan lagi. Saya bingung bagaimana menyampaikannya. Jujur, saya inigin membantu Bapak ini. Tapi bagaimana caranya agar adil ya??


Saya: Pak,, saya ada uang, ga banyak,, cuma 15 ribu,, ga cukup si memang untuk ongkos, tapi saya memang punya segini.
Bapak: (masih dengan bahasa sunda yang sudah saya translete) Aduh ga usah neng, saya tidak mau merepotkan. Ga usah terimakasih.
Saya: (bingung) lah trus nanti gimana bayar bis nya Pak??
Bapak: (masih dengan bahasa sunda yang sudah saya translete) saya masih bisa jual baju saya neng.
Saya: (kembali shock) Jual baju??? Bapak yakin???


Sii Bapak terdiam, saya mulai berfikir, Bapak ini sudah dalam keadaan terjepit, masih saja menolak bantuan saya. Jual baju buat ongkos pulang kampung??? Di Jakarta yang keji ini?? Apa ada orang yang mau beli?? Bahkan, yang saya lihat di televisi, salah satu program reality show yang disiarkannya bertajuk minta tolong, sangat sulit mencari orang yang mau berkorban demi orang lain. Jakarta kejam Pak. Saya saja yang mempunyai penghasilan masih sering dijahati oleh Jakarta dan tuntutan ekonomi pastinya. Saya berani bertaruh, sulit mencari orang yang mempunyai kesadaran sosial tinggi di jaman yang edan seperti saat ini. Saya mengehela nafas panjang, kembali bertanya kepada si Bapak.

Saya: Pak, dari Labuan, Bapak kemana lagi??
Bapak: (masih dengan bahasa sunda yang sudah saya translete) Masih masuk ke dalem lagi.
Saya: Naik apa?? (dalam hati saya berfikir, menurut yang dulu sering saya dengar dari mantan saya itu, bis ke Pandeglang hanya mentok sampai Labuan. Untuk akses masuk ke dalamnya, tidak ada kendaraan lain selain ojek. Itu juga sangat jarang sekali. Sumpah demi apapun, daerah itu sangat sangat jauuuuhhh. Terpelosok, hanya bisa dilewati kendaraan pribadi saja)
Bapak: (masih dengan bahasa sunda yang sudah saya translete) Ke dalemnya saya harus naik ojek. Jauh sekali kampung saya.
Saya: (dalam hati, bener kan??? udah pasti naek ojek. Ga ada kendaraan umum lain yang melintas disana) Trus berapa ongkos ojeknya Pak??
Bapak: (masih dengan bahasa sunda yang sudah saya translete) Mahal. Sepuluh rebu.


Naik ojek sampai semahal itu?? Pasti jauh sekali. Tidak mungkin di kampung ongkos ojek sampai semahal itu kalau jaraknya dekat. Ini pasti berkilo kilo meter deh. Saya mulai bergerak. Ga bisa saya membantu Bapak ini setengah setengah. Saya harus sampai tuntas kalau mau menolong orang lain. Sekalipun saya sendiri sedang kesusahan, namun saya masih mempunyai pekerjaan, sekalipun pekerjaan saya pun diambang kehancuran, tetapi setidaknya kehidupan saya masih jauh lebih baik dari Bapak ini. Saya putuskan untuk menukarkan uang saya ke petugas loket karcis. Satu lembar dua puluh ribuan, dua lembar sepuluh ribuan dan dua lembar lima ribuan. Saya kembali duduk menghampiri si Bapak.

Saya: (menyerahkan uang sebanyak tiga puluh ribu ke arah Bapak) ini Pak dari saya. Semoga membantu ya. Ga banyak, tetapi cukup untuk Bapak pulang sampai ke rumah.
Bapak: (masih dengan bahasa sunda yang sudah saya translete) (ragu) Ga usah. Saya tidak mau merepotkan. Saya bisa jual baju saya untuk dapatkan uang.
Saya: Engga Pak, sama sekali tidak merepotkan. Kebetulan saya baru mendapatkan rejeki. Ini terima saja ya Pak. Ga usah berfikir macam-macam. Saya ikhlas.

Akhirnya  sii Bapak mau menerima pemberian saya. Saya lega melihatnya. Tetapi saya perhatikan, tubuh Bapak ini kurus sekali, dan nafasnya tersengal, seperti sedang menahan rasa sakit. Sesekali Bapak tersebut tidak bisa menyembunyikan ekspresi menahan sakit tersebut. Saya kembali bertanya.

Saya: Bapak sudah makan??
Bapak: (masih dengan bahasa sunda yang sudah saya translete) belom neng. Dari semalem belom makan apa-apa.
Saya: (lagi lagi shock) Hah???

Bapak itu belum makan dari semalem?? Malemnya itu dari jam berapaan?? Sekarang saja sudah jam 12 kurang. Sudah setengah hari dilewati Bapak tanpa sedikitpun makanan yang masuk ke dalam perutnya. Barangkali setetes air pun tidak. Saya kembali membuka dompet. Memang seperti nya saya ditakdirkan untuk membantu Bapak ini sepenuhnya. Baru saja saya ingin memberikan sisa uang yang saya tukar tadi, Bus Trans datang. Saya dan Bapak berdiri. Mengantri dan akhirnya masuk ke dalam bus tersebut. Yang membawa saya menuju Harmoni.

Di dalam Bus, saya memperhatikan gerak-gerik dari si Bapak.  Sempat terlintas pikiran jahat saya untuk tidak mempercayai Bapak ini. Astagfirullah! Ada apa dengan saya ini?? Saya buru-buru menepis pikiran jelek tersebut. Sekalipun memang iya Bapak ini tidak sungguh-sungguh dengan perkataannya, atau istilahnya beliau telah membohongi saya, tak apa, saya ikhlas mengeluarkan uang saya tersebut. Saya teringat janji saya terdahulu, bahwa saya akan menyedekahkan sedikitnya lima puluh ribu dari gaji saya. Hal tersebut harus rutin saya lakukan. Dan bulan kemarin saya lupa sekali. Mungkin Bapak ini menjadi penegur akan kelalaian saya.

Bangku  di depan saya kosong. Saya menyuruh si Bapak untuk duduk. Setelah Bapak duduk, saya perhatikan Bapak itu lagi. Kini lebih tegas. Sepertinya memang tidak ada alasan untuk Bapak ini berbohong. Kalau yang saya lihat dari perangainya. Kalau memang iya beliau berbohong demi mendapatkan uang, setidaknya jauh lebih baik daripada harus mencuri, menjambret, atau menodong. Saya berkali-kali berusaha meyakinkan diri saya sendiri. Bapak ini baik. Dan kalau memang pada kenyataannya Bapak ini telah berbohong, saya berharap agar saya tidak akan pernah mengetahuinya.

Terlihat ekspresi menahan lapar yang berkepanjangan di raut wajah Bapak ini. Saya semakin tidak tega, berharap agar segera sampai di harmoni, dan saya akan menyerahkan uang saya lagi untuk biaya si Bapak mencari makan. Sebagai penghilang lapar di perutnya.

Singkat cerita, sampailah saya  dan si Bapak di Harmoni. Salah satu shelter transit arah Pulo Gadung, Senen, Ancol, Blok M, Kota, Kali deres dan sebagainya. Saya mengajak Bapak untuk duduk sebentar di bangku yang tersedia. Saya memberikan uang saya yang saya tukarkan dan saya berikan semua ke si Bapak. Seperti yang sebelumnya, Bapak menolaknya. Beliau berdalih tidak mau merepotkan saya. Namun saya tegaskan disini, saya ikhlas membantu Bapak sampai akhir. Ini lah kesempatan langka yang tidak bisa ditemukan di setiap harinya oleh setiap orang. Saya merasa senang sekali kalau dalam satu hari dalam hidup saya, saya berbuat baik untuk siapapun..

Pertemuan dengan Bapak tadi sungguh membuat hati saya bergetar.  Membuat saya semakin termotivasi untuk lebih semangat dalam menjalani hidup. Orang seperti Bapak itu saja mempunyai keinginan kuat untuk merubah nasib. Dari seorang petani dengan bayaran sepuluh ribu per harinya menjadi seorang cleaning service dengan bayaran lima ratus ribu per bulannya. Sementara saya???? Saya tidak harus cepat puas dengan apa yang saya miliki saat ini. Saya harus mencoba bidang lain. Semoga saya pada akhirnya bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih cocok dengan kemampuan yang saya miliki. amiin

0 komentar:

Posting Komentar

Menanti

Aku tidak ingin menghabiskan waktu bersama dengan orang yang tidak aku cintai sama sekali..

Dan aku telah memilih,,

Untuk menunggu orang yang aku cintai..